Ebook Hikmah Dibalik Musibah Wabah Covid19

0

E-BOOK GRATIS
Hikmah Dibalik Musibah Wabah Covid19

“Musibah Wabah covid19 yang menjadi pandemi seluruh dunia benar-benar tersimpan banyak sekali hikmah bagi manusia, terutama seorang muslim yang yakin bahwa semua takdir Allah pasti ada hikmahnya. Salah satu hikmah terbesar adalah agar manusia dan orang-orang yang beriman kembali kepada Allah.”

Dapatkan ebook gratis
“Hikmah Dibalik Musibah Wabah Covid19”

Download di link berikut:
https://indonesiabertauhid.com/buku/download-buku/
https://bagi.to/EbookHikmahCovid19

Silakan disebarluaskan.
Buku ini InsyaAllah juga dicetak dan disebarluaskan gratis untuk kaum muslimin.

Ayo dukung program-program Yayasan Indonesia Bertauhid.

Rekening Donasi Yayasan Indonesia Bertauhid
BNI Syariah (Kode bank 427)
455 655 455 9
a.n Yayasan Indonesia Bertauhid

Kontak Yayasan Indonesia Bertauhid
WA : +62 895-3766-03093
IG : Indonesiabertauhidofficial
FB : Indonesia Bertauhid

Program Betah Angkatan 8

0

🔊💫 Program Belajar Tauhid Dasar (BETAH Dasar) Angkatan 8

🔊💫 BUKA PENDAFTARAN

Mengingat betapa penting dan agungnya dakwah tauhid kepada masyarakat, Program Belajar Tauhid (BETAH) yang digagas oleh Tim Indonesia Bertauhid hadir sebagai media belajar jarak jauh yang bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin belajar tauhid yang benar

🔝 Keunggulan Program BETAH Dasar:
🔹 Praktis
(Materi disampaikan dengan singkat dan padat, disampaikan seefektif mungkin)
🔹 Sederhana
(belajar menggunakan media Whatsapp)
🔹 Menyenangkan
🔹 Mudah dipahami
🔹 Singkat
🔹 Terbuka untuk semua kalangan
🔹 GRATIS

Bagaimana…?
Berminat Belajar Tauhid…?

📝 SEGERA DAFTAR PROGRAM BETAH ANGKATAN 8

📅 (Waktu belajar : Rabiul Akhir-Jumadal Akhirah 1441 H) .

🗳 Pendaftaran Program BETAH 8

📆 Pendaftaran dimulai hari Rabu, 11 Desember 2019 sampai kuota terpenuhi

NB: Kuota Terbatas, Segera Daftar biar gak kehabisan kuota 😉

📇 Cara Mendaftar :

1⃣ Klik / kunjungi link pendaftaran 👇

🌐 http://bit.ly/daftarbetah8 (atau bagi pengguna instagram, klik link pada bio @indonesiabertauhidofficial )

Terbuka bagi putra maupun putri di seluruh dunia

📌 CATATAN :

1⃣ Anda harus mempunyai nomor whatsapp dan alamat email yang aktif
2⃣ Mohon berkomitmen untuk belajar sampai tuntas, Peserta putri yang sudah berkeluarga, mohon izin terlebih dahulu kepada suami
3⃣ Kelas putra dan putri terpisah
4⃣ Pastikan Anda telah memasukkan email yang benar ketika mendaftar.

📧 Informasi lebih lanjut hubungi kontak kami :
📱 +62 89 7373 3133 (Putra)
📱 +62 89 6779 05700 (Putri)
(hanya via Whatsapp, tidak melayani telepon/SMS)

MARI SEGERA DAFTAR, AJAK SANAK KELUARGA, DAN SEBAR LUASKAN INFORMASI INI ✨🌏 DENGAN TAUHID, MASUK SURGA SEKELUARGA 🌏

Program Betah Angkatan 7

0

・・・
🔊💫 Program Belajar Tauhid Dasar (BETAH Dasar) Angkatan 7
.
🔊💫 BUKA PENDAFTARAN
.
Mengingat betapa penting dan agungnya dakwah tauhid kepada masyarakat, Program Belajar Tauhid (BETAH) yang digagas oleh Tim Indonesia Bertauhid hadir sebagai media belajar jarak jauh yang bertujuan untuk memudahkan kaum muslimin belajar tauhid yang benar
.
🔝 Keunggulan Program BETAH Dasar:
🔹 Praktis
(Materi disampaikan dengan singkat dan padat, disampaikan seefektif mungkin)
🔹 Sederhana
(belajar menggunakan media Whatsapp)
🔹 Menyenangkan
🔹 Mudah dipahami
🔹 Singkat
🔹 Terbuka untuk semua kalangan
🔹 GRATIS
.
Bagaimana…?
Berminat Belajar Tauhid…?
.
📝 SEGERA DAFTAR PROGRAM BETAH ANGKATAN 7
.
📅 (Waktu belajar : Muharram-Safar 1441 H) .

🗳 Pendaftaran Program BETAH 7
.
📆 Pendaftaran dimulai hari Ahad, 25 Agustus 2019 sampai kuota terpenuhi
.
NB: Kuota Terbatas, Segera Daftar biar gak kehabisan kuota 😉
.
📇 Cara Mendaftar :
.
1⃣ Klik / kunjungi link pendaftaran 👇
.
🌐 http://bit.ly/daftarbetah7 (atau bagi pengguna instagram, klik link pada bio @indonesiabertauhidofficial )
.
Terbuka bagi putra maupun putri di seluruh dunia
.
📌 CATATAN :

1⃣ Anda harus mempunyai nomor whatsapp dan alamat email yang aktif
2⃣ Mohon berkomitmen untuk belajar sampai tuntas, Peserta putri yang sudah berkeluarga, mohon izin terlebih dahulu kepada suami
3⃣ Kelas putra dan putri terpisah
4⃣ Pastikan Anda telah memasukkan email yang benar ketika mendaftar.
.
📧 Informasi lebih lanjut hubungi kontak kami :
📱 +62 89 7373 3133 (Putra)
📱 +62 89 6779 05700 (Putri)
(hanya via Whatsapp, tidak melayani telepon/SMS)

MARI SEGERA DAFTAR, AJAK SANAK KELUARGA, DAN SEBAR LUASKAN INFORMASI INI ✨🌏 DENGAN TAUHID, MASUK SURGA SEKELUARGA 🌏

Buku Panduan Dauroh Tauhid – Mukhtashar Aqidah Ahlis-sunnah wa Jamaah

0

Buku Panduan Dauroh Tauhid – Mukhtashar Aqidah Ahlis-sunnah wa Jamaah

Silahkan Download pada laman berikut
https://itauh.id/U5Vum

[Daurah Tauhid Indonesia Bertauhid]

“Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan, ‘Pembenahan aqidah merupakan asas dasar Dienul Islam. Tidaklah berlebihan sebab syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah merupakan rukun Islam yang pertama. Dan para rasul pertama kali menyeru kaumnya untuk membenahi aqidah mereka. Sebab aqidah merupakan dasar pondasi seluruh amal ibadah dan perbuatan yang dilakukan. Tanpa pembenahan aqidah amal menjadi tiada berguna.'”
[Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah]

Betapa pentingnya aqidah bagi seorang muslim. Dengan aqidah yang benar maka akan selamat semua amal shalih yang dilakukan. Oleh karena itu perlu kita menengok ke dalam diri kita, sudah benarkah aqidah kita?

Hadirilah Daurah Tauhid Indonesia Bertauhid yang akan dilaksanakan pada:
– Hari/Tanggal: Sabtu-Ahad, 20-21 Juli 2019
– Jam: 08.00 – 14.00 WIB
– Tempat: Masjid Pogung Dalangan, Yogyakarta (Utara Fakutas Teknik UGM)| bit.ly/MasjidMPD

Dengan Pembicara:
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc., Hafizhahullahuta’ala
(Alumnus Jami’atul Ma’rifah KSA, Alumnus Univ. of Birmingham UK, dan CO-founder Indonesia Bertauhid)

Lihat info detailnya pada gambar

Daftar segera di bit.ly/daurohtauhid02
FREE
Jika tidak daftar maka tidak mendapatkan fasilitas.
CP Dauroh: +62895376603093 (Bayu)

Mari ajak keluarga, teman dan tetangga untuk sama-sama menikmati manisnya ilmu agama

Atas izin Allah, acara ini diselenggarakan oleh: Indonesia Bertauhid & Masjid Pogung Dalangan

Memahami Perkataan Populer Fudhail bin Iyadh

1

Salah satu perkataan al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah yang kerap didengar adalah

العمل لأجل الناس شرك، وترك العمل لأجل الناس رياء

“Beramal karena manusia adalah kesyirikan dan meninggalkan amal karena manusia adalah riya.” 

Ungkapan ini begitu populer dan sering disampaikan dalam nasihat, kajian, dan ceramah. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana memahami kalimat kedua dari ungkapan beliau tersebut?

Apakah meninggalkan amal karena khawatir tertimpa fitnah dan riya justru merupakan riya itu sendiri? Bukankah kebiasaan salaf adalah merahasiakan amal-amal mereka? Bukankah mereka mewanti-wanti agar tidak menampakkan amal karena khawatir seseorang terjerumus ke dalam riya? Apakah arti dan kriteria riya yang dimaksud dalam ungkapan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang timbul ketika mendengar ungkapan populer di atas. Dan insya Allah akan dijelaskan dalam beberapa poin berikut:

  1. Pertama-tama kami menekankan bahwa setiap perkataan manusia dapat diterima dan ditolak kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat ‘ishmah hanya melekat pada wahyu yang berupa firman Allah ta’ala dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun perkataan selain wahyu, siapa pun yang mengucapkannya, maka terkadang benar dan salah. Apabila perkataan tersebut memiliki kandungan yang benar, maka perkataan itu dapat diterima. Namun, jika tidak, maka perkataan tersebut bisa ditolak, betapa pun terhormat orang yang mengucapkan.
  2. Beramal karena manusia sebagaimana yang terdapat dalam kalimat pertama dari ungkapan al-Fudhail di atas, memang benar merupakan kesyirikan, baik perbuatan itu dilatarbelakangi oleh riya ataupun hal lain. Karena timbulnya niat karena selain Allah ketika melakukan amal shalih adalah salah satu bentuk kesyirikan.

Tindakan tersebut bisa bernilai syirik akbar atau syirik ashghar tergantung pada niat yang terdapat dalam hati pelakunya. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berikut perbuatan syiriknya.” [HR. Muslim]

  1. Amal shalih yang hukumnya wajib harus dilaksanakan dan haram ditinggalkan, meski ada kekhawatiran dalam diri jika dilakukan akan menimbulkan riya. Dalam kondisi ini, seseorang berkewajiban melaksanakan kewajiban tersebut dan bermujahadah agar bisa melaksanakannya dengan ikhlas.
  2. Menyembunyikan amal shalih yang bersifat sunnah/mustahab tentu lebih utama karena lebih bisa menjaga keikhlasan dan menjauhkan pelakunya dari riya. Dalam sebuah hadits disebutkan salah satu golongan dari ketujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari kiamat adalah

رَجُلٌ ذَكَرَ اللَّه خالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“…seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dan demikianlah praktik generasi salaf.

  1. Jika terdapat maslahat agama, maka boleh menampakkan amal shalih. Hal ini seperti seorang yang menjadi tokoh dan teladan, maka dia boleh menampakkan amal shalih agar ditiru oleh yang lain dengan syarat dirinya terjaga dari riya dan fitnah.

Hal ini didukung oleh hadits,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” [HR. Muslim]

  1. Adapun perkataan al-Fudhail rahimahullah “dan meninggalkan amal karena manusia adalah riya” tidaklah berlaku mutlak. Oleh karena itu, sejumlah alim ulama memberikan penjelasan berikut terhadap perkataan tersebut:
  • Sebagian alim ulama menerangkan bahwa maksud perkataan al-Fudhail tersebut adalah apabila seseorang meninggalkan ibadah agar tidak dilihat manusia dalam rangka menjauhi pujian mereka, maka itulah riya!
  • Sebagian alim ulama yang lain menjelaskan bahwa maksud perkataan al-Fudhail itu adalah meninggalkan kemaksiatan agar dipuji manusia.
  • Namun, penjelasan terbaik untuk perkataan al-Fudhail rahimahullah tersebut, adalah penjelasan sebagian ulama yang menerangkan bahwa orang yang meninggalkan amal shalih agar disifati sebagai orang yang ikhlas dan tidak riya, maka perbuatan yang demikian itulah yang merupakan riya. Alasannya, meninggalkan amal shalih karena manusia agar dipuji dan disanjung mereka, itu serupa dengan beramal karena manusia.

Al-Lajnah ad-Daimah pernah memberikan penjelasan perihat perkataan al-Fudhail tersebut. Dalam fatwa tersebut, al-Lajnah ad-Daimah menyatakan,

قوله : ” إن ترك العمل من أجل الناس رياء ” ليس على إطلاقه ، بل فيه تفصيل ، والمعول في ذلك على النية ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى )…

فإذا وقع للإنسان حالة ترك فيها العمل الذي لا يجب عليه ؛ لئلا يظن به ما يضره فليس هذا من الرياء ، بل هو من السياسة الشرعية ، وهكذا لو ترك بعض النوافل عند بعض الناس خشية أن يمدحوه بما يضره أو يخشى الفتنة به ، أما الواجب فليس له أن يتركه إلا لعذر شرعي

“Perkataan al-Fudhail ‘sesungguhnya meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ tidak berlaku mutlak, tapi membutuhkan perincian karena hal itu bergantung pada niat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya setiap orang tidak lain akan memperoleh balasan dari apa yang diniatkan’

Apabila seseorang mengalami suatu kondisi yang menuntutnya untuk meninggalkan suatu amal shalih yang hukumnya tidak wajib (sunnah) agar tidak muncul anggapan yang dapat membahayakan dirinya, maka perbuatan ini bukanlah riya tapi tercakup dalam siyasah syar’iyah. Demikian pula hal yang sama berlaku jika seorang tidak melakukan amal-amal sunnah di tengah-tengah khalayak karena khawatir pujian mereka atau akan timbul fitnah. Adapun amal yang hukumnya wajib tidak boleh ditinggalkan dan harus dilakukan meski di tengah-tengah manusia  kecuali terdapat udzur syar’i.” [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 1/768-769]

  1. Terakhir, bagaimanakah jika seorang yang telah terbiasa melakukan suatu amal sunnah seperti shalat Dhuha, qiyamul lail, atau tilawah al-Quran, dll, kemudian ketika melakukan amalan tersebut, muncul orang lain. Apakah dalam kondisi demikian, jika khawatir tertimpa riya, dia tetap meneruskan atau menghentikan amal shalihnya?

Sebagian alim ulama menjawab, dalam kondisi tersebut, dia jangan menghentikan amal shalih dan tetap melakukannya serta berupaya keras agar menjauhkan hati dari riya dan hal-hal yang bisa merusak keikhlasannya. Alasannya, jika dia menghentikan amal shalih, maka boleh jadi dia justru terjerumus dalam perkara yang diperingatkan al-Fudhail, yaitu dia meninggalkan amal agar dipuji bahwa dirinya ikhlas.

Wallahu ta’ala a’lam.

e-Buletin Belajar Tauhid

Penyusun : Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com

Menyoal Istilah “Agama Samawi”

0

Istilah “agama samawi” sering digunakan untuk mengacu pada agama Islam, dan dua agama, yaitu Yahudi dan Nashrani, dengan pertimbangan bahwa ketiganya merupakan agama yang diturunkan dari sisi Allah ta’ala. Apakah istilah ini tepat?

Jawaban terhadap pertanyaan di atas terangkum dalam penjelasan berikut:

1. Penggunaan istilah “agama” tanpa dikaitkan dengan istilah “samawi” untuk seperti Yahudi, Nashrani, atau agama-agama selain keduanya yang ada di permukaan bumi berdasarkan pertimbangan arti bahasa, adalah hal yang diperbolehkan. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam riwayat Ibnu ‘Abbas radiallahu ‘anhuma, beliau berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ قَالَ :
الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau bersabda, ‘yaitu agama al-Hanifiyyah as-Samhah (agama yang hanif (bebas dari syirik) dan samhah (toleran)” (HR. Ahmad. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)

Demikian pula, Allah ta’ala berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (al-Kafirun: 6)

Karena itu, penggunaan istilah agama tanpa dikaitkan dengan samawi, adalah hal yang diakui syari’at. Akan tetapi, hanya Islam agama yang benar.

2. Inti agama yang diturunkan kepada seluruh nabi dan rasul adalah agama yang satu, yaitu Islam dengan pengertiannya yang umum. Secara umum, Islam diartikan peribadahan/penyembahan kepada Allah ta’ala tanpa menyekutukan-Nya. Agama Islam inilah yang diterima di sisi Allah, bukan agama yang lain.

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (Ali Imran: 19)

Allah ta’ala juga berfirman perihal kesamaan dakwah yang diusung para nabi,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Rabb (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al-Anbiya: 25)

Allah ta’ala berfirman perihal nabi Nuh ‘alaihi as-salam,

وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“…dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berislam kepada-Nya” (Yunus: 72)

Allah ta’ala berfirman perihal nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam,

قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Aku berislam (tunduk dan patuh) kepada Rabb semesta alam” (al-Baqarah: 131)

Allah ta’ala juga berfirman perihal beliau,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif (lurus) lagi muslim (berserah diri/tunduk kepada aturan Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (Ali Imran: 67)

Allah ta’ala berfirman perihal nabi-nabi dari kalangan Bani Israil,

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berislam kepada Allah” (al-Maidah: 44)

Demikianlah apa yang diinformasikan Allah ta’ala perihal para nabi seperti Luth, Yusuf, Musa, Sulaiman, Ya’qub, dan keturunan mereka ‘alaihim as-salam. Kesimpulannya, agama para nabi adalah sama, yaitu Islam.

3. Perbedaan yang ada pada dakwah para nabi hanya terjadi pada aturan-aturan hukum agama seperti firman Allah ta’ala,

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang’ (al-Maidah: 48)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

“Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Inti agama yang diusung para rasul adalah satu, yaitu Islam seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal yang membedakan adalah aturan-aturan hukum, yang ditetapkan di zaman mereka. Dan adanya perbedaan aturan tidak lantas menjadikan agama mereka berbeda. Hal ini seperti yang terdapat dalam misalnya syari’at Islam yang secara khusus dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana at-tanaasukh (penganuliran/penghapusan aturan hukum) terjadi di dalamnya. Sehingga, dengan begitu terjadinya at-tanaasukh terhadap aturan-aturan hukum yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu tidak berarti bahwa agama mereka berbeda.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

فالمرسلون صلوات الله عليهم أجمعين، أولهم وآخرهم بعثوا بدين الإسلام،
وهو عبادة الله وحده لا شريك له…وتنوع شرائع الأنبياء كتنوع الشريعة
الواحدة

“Para rasul shalawatullah ‘alaihim ajma’in, baik yang awal maupun yang akhir, diutus dengan agama Islam, yaitu agama yang menyeru manusia untuk menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya…dan keragaman aturan-aturan hukum yang ada pada zaman nabi-nabi layaknya keragaman hukum yang terjadi pada suatu agama” (ar-Radd ‘alaa al-Manthiqiyyin hlm. 46)

4. Berdasarkan penjelasan pada poin-poin di atas, lafadz “agama” yang dikaitkan dengan lafadz “samawi”, sehingga istilah “agama-agama samawi” mengacu pada agama Yahudi dan Nashrani, maka penggunaan istilah tersebut adalah penggunaan yang keliru. Hal ini dijelaskan dalam poin-poin di bawah ini:

a. Dari redaksi jamak yang digunakan mengesankan berbilangnya agama yang diturunkan dari sisi Allah ta’ala. Hal itu adalah kebatilan, karena agama yang berasal dari sisi Allah hanya satu, yaitu Islam dengan artinya yang khusus seperti telah dijelaskan di atas.

Jika ada yang beralasan bahwa istilah “agama-agama samawi” digunakan dengan mempertimbangkan asalnya yang sama dan aturan-aturan hukum yang berbeda pada agama-agama tersebut, sebagaimana yang diungkapkan sejumlah cendekiawan. Maka, alasan itu tetap menimbulkan permasalahan, karena hanya satu agama yang diturunkan dari sisi Allah, namun dengan aturan-aturan hukum agama yang berbeda. Oleh karena itu, mungkin penggunaan yang bisa diterima adalah “aturan-aturan hukum (syir’ah) samawi” dan bukan “agama-agama samawi”.

b. Penyifatan agama-agama tersebut dengan kata “samawi” tidak akurat, karena menimbulkan persepsi akan keabsahan agama-agama itu dan bahwa mereka memang diturunkan dari langit. Tentu hal itu adalah kebatilan, karena agama-agama tersebut telah terdistorsi seperti yang diketahui bersama. Dengan demikian, hakikatnya agama itu adalah distorsi terhadap agama Islam yang diturunkan dari langit. Kesimpulannya, tidak ada agama samawi selain Islam, yang inti ajarannya adalah berserah diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan peribadahan hanya kepada-Nya; serta berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan.

Wallahu ta’ala a’lam.

Penyusun : Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com

Jenis – Jenis Kemusyrikan

0

Tauhid sebagaimana dimaklumi bersama merupakan seadil-adil keadilan. Bagaimana tidak sebab tauhid adalah menunggalkan Sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur Alam Semesta dalam hal-hal yang merupakan kekhususan-Nya. Kekhususan atau hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar adalah diesakan dalam peribadatan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al Anbiya [21] : 25)

Ibnu Katsir (Wafat Tahun 774 H) Rohimahullah mengatakan,

فَكُلُّ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ يَدْعُو إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَالْفِطْرَةُ شَاهِدَةٌ بِذَلِكَ أَيْضًا  

“Allah mengutus setiap nabi untuk menyeru, mengajak manusia untuk hanya beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun. Fithrah manusia pun mengakui itu”.

Demikian pula kemusyrikan, maka dia adalah sezholim – zholim perkara. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هَؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

“Kaum kami (orang-orang musyrik di masa ashabul kahfi -pen) ini telah menjadikan selain Dia sebagai sesembahan. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zholim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?”. (QS. Al Kahfi [18] : 15)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezholiman yang sangat besar”. (QS. Luqman [31] : 13)

Untuk itu seorang muslim tentu perlu mengetahui jenis-jenis kemusyrikan untuk menjauhinya. Sebagaimana kata seorang penyair klasik,

عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوَقِّيهِ … وَمَنْ لَا يَعْرِفُ الشرَّ يَقَعْ فِيْهِ

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk (melakukan) keburukan,

Tetapi agar mampu menjaga diri darinya

            Siapa yang tidak tahu keburukan

(dikhawatirkan) dia akan terjerumus padanya”

Dikatan pula dalam sebuah syair,

وَالضِّدُّ يُظْهِرُ حُسْنَهُ الضِّدُّ        وَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الْأَشْيَاءُ

“Kebalikan mempejelas kebaikannya

                Dengan lawannya jelaslah berbagai perkara”.

Kemusyrikan atau syirik pada dasarnya adalah sebagaimana yang disampaikan Ibnul Qoyyim (wafat Tahun 751 H) Rohimahullah,

حَقِيقَةُ الشِّرْكِ: هُوَ التَّشَبُّهُ بِالْخَالِقِ وَتَشْبِيهُ الْمَخْلُوقِ بِهِ

“Hakikat kesyirikan adalah menyamakan Allah dengan makhluk atau menyamakan makhluk dengan Allah”.

Kesyirikan ini terbagi menjadi 2 bagian besar,

  1. Syirik Akbar (Besar)
  2. Syirik Ashghor (Kecil)

Pertama : Syirik Akbar

Syirik akbar adalah syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam, mengekalkan pelakunya di neraka jika dia mati dalam keadaan belum bertaubat dari kemusyrikannya. Syirik besar ini pada dasarnya memalingkan sesuatu yang merupakan ibadah kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla. Misalnya berdo’a kepada selain Allah, menyembelih, bernadzar kepada selain-Nya. Termasuk kepada penghuni kubur, jin ataupun syaithon. Contoh lainnya khawatir/takut orang yang sudah mati, jin dan syaithon dengan sendirinya dapat memberikan kemudhorotan kepadanya. Misal lainnya berharap kepada selain Allah pada perkara yang mana pihak yang diharapkan tersebut tidak memiliki kuasa untuk itu, misalnya mengangkat bencana atau mendatangkan kemanfaatan. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudhoratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik langit dan tidak (pula) dibumi ?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu)”. (QS. Yunus [10] : 18)

Ringkasnya sebagaimana yang disampaikan Syaikh Ahmad bin Sholeh Al Khuroishi Hafizhahullah bahwa barangsiapa yang menjadikan Allah dan selainnya sebagai sekutu dalam peribadatan maka sungguh dia telah melakukan syirik akbar.

Beliau juga mengatakan, “Syirik akbar disebut sebagai syirik akbar karena adanya syirik yang derajatnya di bawah itu, yaitu syirik ashghor”.

Syirik Akbar ini menyebabkan pelakunya kekal di neraka bila dia tidak bertaubat darinya, menghapus seluruh amalnya, menyebabkan harta dan darah pelakunya tidak terjamin di dalam Islam.

Kedua : Syirik Ashghor

Syaikh DR. Sholeh Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Syirik ashghor merupakan syirik yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam namun syirik ini dapat mengurangi tauhid serta merupakan washilah/ jalan menuju syirik akbar”.

Syaikh Ahmad bin Sholeh Al Khuroishi Hafizhahullah menyampaikan defenisi yang sangat bagus. Beliau mengatakan bahwa syirik ashghor itu adalah sesuatu yang disebutkan di dalam dalil baik Al Qur’an dan Sunnah sebagai kesyirikan namun tidak sampai pada derajat syirik akbar. Misalnya sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ وَأَشْرَكَ

“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh dia telah kufur atau berbuat syirik”.

Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa orang yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah berbuat syirik. Namun tidak disebutkan bahwa perbuatan yang demikian itu dapat mengeluarkan seorang muslim dari Islam. Allahu a’lam.

Ringkasnya hukum asal syirik ashghor ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam kecuali jika pelakunya memiliki I’tiqod/ keyakinan atau maksud tertentu.

Syaikh Ahmad bin Sholeh Al Khuroishi Hafizhahullah juga mengatakan, “Syirik ashghor ini merupakan dosa yang paling besar setelah syirik akbar dan termasuk dosa besar yang paling besar. Bahkan sebagian ulama menilai bahwa orang yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik ashghor dan belum sempat bertaubat darinya ketika hidup maka dia akan diadzab di neraka sesuai tingkat kesyirikan yang dilakukannya (tidak diampuni). Namun dia tidak kekal di dalam neraka. Jika telah selesai kadar kesyirikannya maka dia akan masuk surga . Sesuai dengan Firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa kemusyrikan dengan-Nya”. (QS. An Nisa [4] : 116)

Inilah aqidah ahlu sunnah wal jama’ah”.

Syirik jenis inilah yang amat dikhawatirkan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam atas kita. Beliau pernah bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik ashghor”. Para shahabat bertanya, “Apa itu syirik ashghor wahai Rosulullah ?” Beliau menjawab, “Riya’”.

Termasuk dalam syirik ashghor ini adalah riya’, sum’ah, memakai jimat, ucapan kalau bukan karena anda dan Allah, bersumpah dengan selain nama atau shifat Allah, tathoyyur, beranggapan sial, beramal karena ingin dunia dan lain-lain yang semisal.

Ibnul Qoyyim (wafat Tahun 751 H) Rohimahullah mengatakan,

وَأَمَّا الشَّرَكُ فِي الْإِرَادَاتِ وَالنِّيَّاتِ، فَذَلِكَ الْبَحْرُ الَّذِي لَا سَاحِلَ لَهُ، وَقَلَّ مَنْ يَنْجُو مِنْهُ، مَنْ أَرَادَ بِعَمَلِهِ غَيْرَ وَجْهِ اللَّهِ، وَنَوَى شَيْئًا غَيْرَ التَّقَرُّبِ إِلَيْهِ، وَطَلَبَ الْجَزَاءَ مِنْهُ، فَقَدْ أَشْرَكَ فِي نِيَّتِهِ وَإِرَادَتِهِ. وَالْإِخْلَاصُ: أَنْ يُخْلِصَ لِلَّهِ فِي أَفْعَالِهِ وَأَقْوَالِهِ وَإِرَادَتِهِ وَنِيَّتِهِ

“Adapun kesyirikan dalam keinginan dan niat (syirik ashghor) maka itu bak lautan yang tak berpantai. Sangat sedikit orang yang selamat darinya. Barangsiapa yang menginginkan selain Wajah Allah dari amalannya, beniat sesuatu (selain mendekatkan dirinya kepada Allah) dalam ibadahnya, mengharap balasan (duniawi) darinya maka sungguh dia telah terjatuh dalam kesyirikan terkait niat. Sedangkan ikhlas adalah memunrnikan niat hanya kepada Allah dalam seluruh perbuatan, ucapan dan niatnya”.

Namun demikian bukan berarti kita membiarkan bahkan memupuk syirik kecil itu (dalam hal ini riya’ dan sum’ah) tumbuh subur dalam diri kita. Bahkan kita diperintahkan untuk berusaha dan memohon perlindungan kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala agar terhindar darinya. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Abu Bakar Rodhiyallahu ‘anhu,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu (syirik) padahal aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampunan-Mu dari (kesyrikan -pen) yang aku tidak tahu”.

Ringkasan perbedaan syirik akbar dan syirik ashghor :

 

  • Syirik akbar mengeluarkan pelakunya dari Islam sedangkan syirik ashghor tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Namun syirik ashghor mengurangi ketauhidan seseorang.
  • Pelaku syirik akbar kekal di neraka sedangkan syirik ashghor tidak.
  • Syirik akbar menghanguskan dan membatalkan seluruh amal sholeh sebelumnya sedangkan syirik ashghor hanya membatalkan amalan yang terkait dengannya.

 

  1. Syirik akbar dapat menyebabkan legalnya kehormatan, harta dan darah pelakunya sedangkan syirik ashghor tidak.

Namun perlu diingat point keempat tidak boleh diterapkan serampangan bahkan harus sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam Islam.

Terakhir, kesyirikan apapun sungguh besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan dosa yang ringan bahkan dosa terbesar di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Mari berusaha menjauhi seluruhnya.

Penyusun: Aditya Budiman bin Usman
Artikel: IndonesiaBertauhid.Com

Buruknya Kemusyrikan

0

Jiwa kita secara naluriah tentu tidak menginginkan bahkan membenci sesuatu yang buruk. Semakin buruk sesuatu itu maka kita akan semakin menjauhkan diri kita darinya. Diantara sekian banyak hal buruk adalah sesuatu hal yang paling buruk yaitu kemusyrikan. Sekelas Nabi Ibrohim saja berdoa kepada Allah Ta’ala agar dirinya dan anak keturunannya dijauhkan dari menyekutukan Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana terabadikan dalam Al Qur’an,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrohim berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala (kemusyrikan)”. (QS. Ibrohim [14] : 35)

Ibnu Katsir Rohimahullah (wafat Tahun 774 H)mengatakan,

يَنْبَغِي لِكُلِّ دَاعٍ أَنْ يَدْعُوَ لِنَفْسِهِ وِلِوَالِدَيْهِ وَلِذُرِّيَتِهِ

“Sudah seharusnya setiap orang yang memohon (kepada Allah) untuk mendoakan hal ini (dijauhkan dari kemusyrikan -pen) bagi dirinya sendiri, kedua orang tuanya dan anak keturunannya”.

Pun demikian, ketika kita mengetahui sesuatu yang buruk itu memiliki berbagai sisi buruk lainnya yang mungkin samar bagi sebagian orang. Maka kita pun akan semakin berusaha menjauhinya. Tak terkecuali kemusyrikan dengan segala macam dan ragamnya. Ketika kita paham dan mengerti berbagai sisi buruknya maka kita akan semakin berusaha menjauhkan diri kita darinya.

Berikut beberapa sisi buruk kemusyrikan :

Pertama, Kemusyrikan adalah menyamakan sesuatu yang sangat jauh berbeda. Yaitu menyamakan antara sesuatu yang diciptakan dengan Sang Penciptanya.

Syaikh DR. Sholeh Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menyukutukan Allah dengan sesuatu apapun maka berarti dia telah menyamakan Allah dengan sesuatu itu. Dan inilah kezholiman yang paling zholim. Allah Subhana wa Ta’ala mengabadikan perkatan Luqman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah), ketika Luqman berwasiat kepada anaknya waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah (kemusyrikan) adalah benar-benar kezholiman yang besar”. (QS. Luqman [31] : 13)

Para ulama mengatakan bahwa kezholiman adalah meletakkan, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya yang seharusnya. Barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah berarti dia telah menempatkan ibadah tidak pada tempatnya, menyelewengkan sesuatu dari sesuatu yang sebenarnya. Itulah kezholiman terbesar”.

Kedua, Allah Ta’ala yang mana Dia adalah Dzat Yang Maha Luas AmpunanNya menyatakan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa kemusyrikan kecuali bertaubat darinya.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.

(QS. An Nisa [4] : 48)

Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan,

لَا يَغْفِرُ لِعَبْدٍ لَقِيَهُ وَهُوَ مُشْرِكٌ بِهِ

“Dia tidak mengampuni hamba-Nya (siapapun dia, apapun kedudukannya) yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan dia menyekutukan-Nya”.

Ketiga, Allah mengharamkan surga kepada orang-orang yang berbuat kemusyrikan dan tempatnya kekal di neraka.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah [5] : 72)

Bayangkan hari dimana anda sangat butuh bantuan Allah Subhana wa Ta’ala tegaskan bahwa surga telah diharamkan untuk anda, neraka telah menanti anda dan anda tidak punya penolong sama sekali.

Keempat, Kemusyrikan membuyarkan seluruh amalan. Siapapun anda, apapun kedudukan anda jika anda berbuat kemusyrikan maka amal ibadah anda sebelumnya telah batal.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman mengingatkan Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az Zumar [39] : 65)

Lihatlah bahaya kemusyrikan! Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam saja jika beliau melakukan kemusyrikan maka Allah Subhana wa Ta’ala akan hapuskan seluruh amalnya, apatah lagi dengan kita ?!

Kelima, Kemusyrikan adalah dosa besar yang paling besar.

Diriwayatkan dari Abu Bakroh Nufai’ bin Al Harits Rodhiyallahu ‘anhu, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para shahabat,

ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ -ثلاثاً- قُلْنَا : بَلَى ، يَا رَسُول الله ، قَالَ :

الإشْرَاكُ بالله ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ

“Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa besar yang paling besar ?” Para shahabat menjawab, “Tentu wahai Rosulullah”. Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, durhaka pada kedua orang tua……………”.

Ibnul Qoyyim (wafat Tahun 751 H) Rohimahullah mengatakan, “Kemusyrikan adalah kezholiman yang paling zholim sedangkan tauhid adalah keadilan yang paling adil. Segala sesuatu yang meniadakan hal ini maka dialah dosa besar yang paling besar…”. Beliau juga mengakatan, “Tatkala kemusyrikan meniadakan tujuan mendasar ini (tauhid) maka jadilah kemusyrikan itu dosa besar yang paling besar”.

Keenam, Kemusyrikan adalah sebuah kekurangan dan aib.

Oleh sebab itulah Allah Subhana wa Ta’ala menyucikan diri-Nya dari segala macam kemusyrikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9] : 31)

Barangsiapa yang menyekutukan Allah berarti dia telah menentang Allah Subhana wa Ta’ala dan tujuan penciptaannya sendiri. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah menyucikan diri-Nya dari hal itu. Inilah bentuk penentangan terbesar kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala.

Ketujuh, menyebabkan darah dan hartanya halal.

Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولوُا لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ ، فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ ، وَحِسَابُهُ عَلَى الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa Tiada Sesembahan yang benar disembah kecuali Allah. Barangsiapa yang telah mengatakannya maka harta dan jiwanya (dalam riwayat lain disebutkan harta -pen) terlindungi kecuali yang merupakan ketentuan syariat dan hisabnya di sisi Allah”.

(Disadur dari Kitab Aqidatut Tauhid hal. 80-82)

Mudah-mudah dengan mengetauhi keburukan kemusyrikan kita lebih tergugah untuk berusaha menjauhinya dan merealisasikan kebalikannya yaitu tauhid.

Penyusun: Aditya Budiman bin Usman
Artikel: IndonesiaBertauhid.Com

Hukum Beristighatsah

0

Allah ta’ala berfirman,

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ المَلائِكَةِ مُرْدِفِينَ * وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلاَّ بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلاَّ مِنْ عِندِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [al-Anfal: 9-10].

Definisi Istighatsah

Istighatsah berarti thalab al-ghauts, meminta pertolongan di kala tengah mengalami kesulitan. Istighatsah merupakan salah satu bentuk do’a namun khusus dilakukan ketika tengah mengalami kondisi yang sulit seperti ketika dirundung musibah.

Istighatsah adalah Ibadah

Pada ayat di atas, setidaknya terdapat tiga indikasi yang menunjukkan bahwa istighatsah adalah ibadah, yaitu:

  • Istighatsah merupakan salah satu bentuk do’a dan do’a adalah ibadah.
  • Allah ta’ala memuji orang yang beristighatsah kepada-Nya. Hal ini menunjukkan istighatsah tercakup dalam definisi ibadah seperti yang disampaikan alim ulama.
  • Perkenan dan pengabulan Allah ta’ala terhadap istighatsah yang dipanjatkan kepada-Nya.

Jenis-jenis Istighatsah

Pertama: Beristighatsah kepada Allah ta’ala

Hukumnya adalah ibadah dan tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu diperkenankan-Nya bagimu” [al-Anfal: 9].

Kedua: Beristighatsah kepada Makhluk dalam Perkara yang Bisa Dilakukannya

Hukumnya boleh dengan syarat orang yang dimintai pertolongan hidup; hadir (tidak gaib), berada di hadapan orang yang meminta; dan mampu melakukan apa yang diminta.

Allah ta’ala berfirman,

فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ

“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan (beristighatsah) kepada Musa, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya” [al-Qashash: 15].

Hal ini seperti seorang yang hampir tenggelam kemudian meminta pertolongan kepada orang lain yang berada di dekatnya.

Ketiga: Beristighatsah kepada Makhluk dalam Perkara yang Hanya Mampu Dilakukan Allah Semata

Hukumnya adalah syirik akbar.  Hal ini seperti orang yang beristighatsah kepada makhluk untuk menurunkan hujan atau menyembuhkan penyakit, yang keduanya merupakan hak khusus Allah ta’ala karena Dia-lah yang mampu melakukannya. Dan juga seperti orang yang beristighatsah kepada kepada penghuni kuburan keramat atau beristighatsah kepada orang yang masih hidup namun tidak berada di hadapannya (gaib). Digolongkan sebagai syirik akbar karena orang yang beristighatsah memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki pendengaran yang mutlak, sehingga mampu mendengar dan mengetahui setiap permintaan yang dipanjatkan kepadanya meski tidak berada di hadapannya, serta memiliki andil dalam pengaturan alam semesta.

Wallahu a’lam.

Penyusun : Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com

Mengapa Keburukan Tidak Disandarkan Kepada Allah

0

Ahli sunnah wal jama’ah menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan berasal dari Allah ‘azza wa jalla. Allah ta’ala yang menakdirkan dan menciptakan keduanya sebagaimana yang ditunjukkan dalam keumuman firman-Nya,

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [al-Qamar: 49].

Dia juga berfirman,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [az-Zumar: 62].

Dalam Shahih Muslim, dari hadits Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Jibril ‘alaihi as-salam bertanya perihal keimana kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul menjawab,

أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

“Iman itu engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para rasul-Nya; hari akhir; dan beriman kepa da takdir, yang baik maupun yang buruk.” [HR. Muslim].

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memahami hadits,

والشر ليس إليك

“…dan keburukan tidak disandarkan kepada-Mu.” [HR. Muslim].

Alim ulama memberikan sejumlah jawaban atas hal tersebut sebagai berikut:

  1. Artinya keburukan bukanlah media yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah. Inilah yang menjadi pendapat al-Khalil bin Ahmad, an-Nadhr bin Syamil, Ishaq bin Rahuyah, yahya bin Ma’in, Abu Bakr Ibnu Khuzaimah al-Azhari, dan ath-Thahawi rahimahumullah.
  2. Arti hadits di atas adalah keburukan secara resendiri, tidaklah disandarkan kepada Allah, seperti ucapan, ‘Wahai Pencipta keburukan’; ‘Wahai Engkau Dzat yang Menakdirkan keburukan’; ‘Wahai Engkau Pencipta kera dan babi’; atau ucapan yang semisal. Inilah pendapat Abu Utsman ash-Shabuni dan konon juga menjadi pendapat al-Muzanni rahimahumullah.
  3. Arti hadits tersebut adalah keburukan tidak naik menuju-Mu, karena yang naik menuju-Mu adalah perkataan yang baik dan amal yang shalih.
  4. Arti redaksi hadits tersebut adalah Allah ta’ala tidak menciptakan keburukan yang benar-benar murni keburukan, sehingga keburukan yang diciptakan-Nya jika dipandang lebih dalam bukanlah semata-mata keburukan jika disandarkan kepada-Nya karena hal itu bersumber dari hikmah yang besar. Dengan begitu, setiap takdir dan ketentuan Allah ta’ala adalah baik dan tidaklah buruk sama sekali, karena yang buruk itu terletak pada apa yang ditakdirkan yang merupakan obyek kreasi dan makhluk-Nya. sehingga ada perbedaan antara perbuatan Allah ta’ala yang seluruhnya merupakan kebaikan; dan kreasi serta makhluk-Nya, yang dapat mengandung kebaikan dan keburukan. Pendapat yang terakhir inilah yang menjadi pilihan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Abi al-Izz rahimahumullah.

Ibnu al-Qayyim berkata,

القدر لا شر فيه بوجه من الوجوه فإنه علم الله وقدرته وكتابه ومشيئته، وذلك خير محض وكمال من كل وجه، فالشر ليس إلى الرب تعالى بوجه من الوجوه لا في ذاته ولا في أسمائه ولا في صفاته ولا في أفعاله، وإنما يدخل الشر الجزئي الإضافي في المقضي المقدَّر، ويكون شراً بالنسبة إلى محلٍ وخيراً بالنسبة إلى محل آخر، وقد يكون خيراً بالنسبة إلى المحل القائم به من وجه كما هو شر له من وجه، بل هذا هو الغالب، وهذا كالقصاص وإقامة الحدود وقتل الكفار، فإنه شر بالنسبة إليهم لا من كل وجه ، بل من وجه دون وجه، وخير بالنسبة إلى غيرهم لما فيه من مصلحة الزجر والنكال ودفع الناس بعضهم ببعض

“Takdir sama sekali tidak mengandung keburukan, karena dia adalah ilmu, kekuasaan, kitab (penulisan), dan kehendak Allah. Seluruhnya murni kebaikan dan kesempurnaan yang absolut di segala sisi. Sehingga keburukan tidaklah disandarkan kepada Allah ta’ala, tidak pada Dzat-Nya; tidak pula pada nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Keburukan yang bersifat parsial hanya terdapat pada apa yang ditakdirkan, yang bisa dipandang sebagai keburukan pada satu tempat, sementara di tempat lain bisa dipandang sebagai kebaikan pada sisi yang lain. Dan terkadang pada satu tempat, hal itu merupakan kebaikan jika dipandang satu sisi, meski di sisi lain bisa berupa keburukan, namun umumnya kebaikan itu yang dominan. Contoh hal ini adalah seperti penerapan hukum qishash, penegakan hudud, dan membunuh orang kafir (yang berhak dibunuh). Hal itu memang keburukan bagi pelakunya, hanya dari satu sisi; namun hal itu merupakan kebaikan bagi orang lain seiring adanya maslahat karena hal itu merupakan tindakan preventif, hukuman, dan upaya agar masyarakat tidak berlaku main hakim sendiri.” [Syifa al-Alil].

Pada dasarnya seluruh arti yang disampaikan alim ulama di atas untuk redaksi hadits tersebut adalah arti yang tepat, dimana hadits tersebut bisa dimaknai dengan keempat arti di atas. Namun, arti yang terakhir lebih sesuai dan lebih komprehensif dalam menyucikan Allah ta’ala dari segala keburukan. Selain itu, arti tersebut lebih cocok dengan redaksi hadits. Wallahu ta’ala a’lam.

Ibnu al-Qayyim mengatakan,

(والشر ليس إليك) معناه: أجل وأعظم من قول من قال: والشر لا يتقرب به إليك، وقول من قال: والشر لا يصعد إليك، وأن هذا الذي قالوه وإن تضمن تنزيهه عن صعود الشر إليه والتقرب به إليه فلا يتضمن تنزيهه في ذاته وصفاته وأفعاله عن الشر، بخلاف لفظ المعصوم الصادق المصدق فإنه يتضمن تنزيهه في ذاته تبارك وتعالى عن نسبة الشر إليه بوجه ما، لا في صفاته ولا في أفعاله ولا في أسمائه، وإن دخل في مخلوقاته

“(Dan keburukan tidaklah disandarkan kepada-Mu), artinya lebih agung dan mulia daripada sekadar mengartikannya dengan ‘dan keburukan tidaklah menjadi media peribadahan kepada-Mu’ atau ‘keburukan tidaklah naik kepada-Mu’. Arti yang disampaikan oleh sejumlah ulama ini, meskipun mengandung penyucian bahwa keburukan itu tidak naik menuju Allah dan tidak menjadi media ibadah kepada-Nya, namun arti-arti tersebut tidaklah mengandung penyucian kepada Allah, baik terhadap Dzat, sifat, dan perbuatan Allah dari keburukan. Hal itu berbeda dengan redaksi lafadz hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ma’shum dan benar lagi dibenarkan. Redaksi hadits beliau mengandung penyucian kepada Allah, dalam Dzat-Nya, dari penyandaran segala keburukan kepada-Nya, tidak pada sifat, perbuatan, maupun nama-Nya, meski keburukan itu terkandung pada makhluk-makhluk-Nya.” [Badai’ ash-Shanai’ 2/182].

Catatan:

Alim ulama menyebutkan bahwa keburukan tidak boleh disandarkan kepada Allah secara tersendiri, kecuali salah satu dari tiga hal berikut:

  • Keburukan itu tercakup dalam makhluk Allah secara umum seperti firman Allah ta’ala,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ

“Allah menciptakan segala sesuatu.” [az-Zumar: 62].

  • Keburukan itu disandarkan pada sebab yang juga diciptakan seperti firman Allah ta’ala,

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“(Aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan makhluk-Nya.” [al-Falaq: 2].

  • Subyek dibuang pada redaksi kalimat seperti pada firman-Nya,

وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا

“Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Allah menghendaki kebaikan bagi mereka.” [al-Jin: 10].

Telah disebutkan sebelumnya Allah ta’ala menciptakan kebaikan dan keburukan; namun pada redaksi ayat di atas, ketika menyebutkan keburukan, Allah tidak disebutkan sebagaimana ketika menyebutkan kebaikan.

Inilah yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

Penyusun : Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com