Memaknai Nikmat Kemerdekaan

foto oleh Bisma Mahendra

Kemerdekaan merupakan salah satu  nikmat yang Allah berikan kepada umat manusia. Seorang muslim yang bertauhid meyakini bahwa nikmat kemerdekaan ini, Allah yang memberikannya kepada yang Ia kehendaki. Sebagaimana Allah memerdekakan Pengikut Nabi Musa dari jajahan Fir`aun di Mesir. Allah berfirman,

وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى ٱلَّذِينَ ٱسْتُضْعِفُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ ٱلْوَٰرِثِينَ

Artinya: “Kami ingin memberikan karunia orang-orang yang berada dalam keadaan lemah di bumi (umat Nabi Musa di Mesir) dan menjadikan mereka pemimpin serta menjadikan mereka umat-umat yang mewariskan. (QS. Al-Qashas: 5)

As-Sa`di dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari ayat ini, bahwa Allah hendak menjadikan para pengikut Musa di Mesir (yang dalam keadaan dijajah oleh Fir`aun karena keimanan mereka) para pemimpin dalam beragama, maka Allah hilangkan sebab kelemahan mereka yaitu penjajahan Fir`aun (Allah merdekakan mereka). Setelah merdeka dari penjajahan Fir`aun mereka menjadi pemimpin dalam beragama karena kepemimpinan tidak mungkin ada jika masih dalam keadaan lemah dan tertindas.

Kemerdekaan dan kemenangan yang diperoleh pengikut Nabi Musa عليه السلام kala itu sesungguhnya hanyalah berasal dari Allah semata. Allah mengingatkan kisah tersebut agar kita mengambil pelajaran, bahwa kemenangan tidak datang kecuali dengan pertolongan-Nya. Allah berfirman,

وَإِذْ نَجَّيْنَٰكُم مِّنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوٓءَ ٱلْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَآءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَآءَكُمْ ۚ وَفِى ذَٰلِكُم بَلَآءٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Aku menyelamatkan kalian dari keburukan Fir`aun (dan bala tentaranya); mereka menimpakan kepada kalian siksaan pedih, membunuh anak-anak kalian, dan membiarkan istri-istri kalian hidup. Sesungguhnya di sana terdapat ujian yang sangat besar.” (QS. al-Baqarah: 49)

Kisah-kisah tersebut yang ada dalam al-Qur`an seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Allah berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para nabi dan rasul yang ada dalam Al-Qur`an) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Yusuf: 111)

Setelah meyakini bahwa kemerdekaan adalah nikmat dari Allah, maka sepatutnya kita menyikapinya dengan penuh rasa syukur. Sebagaimana nikmat-nikmat lain, nikmat kemerdekaan juga wajib disyukuri agar senantiasa bertambah dan terjaga. Allah ﷻ berfirman,

لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: “Jika kalian mensyukuri (nikmat-Ku), maka aku akan tambahkan. Jika kalian mengufuri (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Mensyukuri nikmat kemerdekaan tidak boleh hanya sebatas gagasan, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk dan aplikasi rasa syukur atas kemerdekaan adalah dengan mengenang jasa para pejuang yang telah rela berkorban demi kemerdekaan bangsa ini. Nabi Muhammad shalllahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Artinya: “Tidaklah (dikatakan) bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.”

Berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita hukumnya wajib, karena itu merupakan bentuk syukur kepada Allah. Berterima kasih kepada para pejuang dapat dilakukan dengan mendoakan kebaikan untuk mereka. Nabi bersabda,

من صُنِعَ إليه معروفٌ فليُكافِئْهُ، فإن لم يجد ما يُكافِئُهُ فليَدْعُ له، حتى يعلم أنه قد شكره

Artinya: “Barang siapa yang diberikan sebuah kebaikan, maka hendaklah ia membalasnya dengan setimpal. Jika belum dapat membalasnya dengan yang setimpal, maka hendaklah ia mendoakan kebaikan, sampai dia tahu bahwa kamu telah berterima kasih kepadanya.”

Selain itu, menjaga nikmat kemerdekaan juga merupakan hal yang harus dilakukan oleh kaum yang telah Allah berikan nikmat kemerdekaan tersebut. Menjaga nikmat dengan mensyukuri dan senantiasa mengupayakan nikmat itu tidak hilang adalah sebuah keharusan. Allah berfirman,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Demikianlah bahwa Allah tidaklah mencabut sebuah nikmat yang telah Ia berikan kepada suatu kaum sampai mereka berlaku (sebab-sebab hilangnya nikmat itu) dengan sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengetahui.” (al-Anfal: 53)

Al-Baghawi menjelaskan ayat tersebut, bahwa orang-orang yang Allah berikan nikmat, tidak akan Allah cabut sampai mereka melakukan sebab-sebab dari kehancuran nikmat tersebut. Dengan kata lain, Allah mencabut nikmat karena adanya sebab.”

Oleh karena itu, wajib bagi kita yang telah Allah anugerahi nikmat kemerdekaan untuk senantiasa menjaganya, dengan cara mensyukuri nikmat tersebut serta merawat sebab-sebab yang mengantarkan pada kelanggengan nikmat tersebut dan menjauhi sebab-sebab kehilangannya. Dengan demikian, kemerdekaan kita akan tetap Allah jaga dan nikmat ini tidak dicabut dari kita

Selain berbicara tentang mengupayakan kemerdekaan fisik dan kenegaraan, seorang musli, harus mengupayakan kemerdekaan batin (hati) dan agamanya. Seorang muslim yang merdeka hatinya, ia harus melepaskan semua keinginan yang menjajah hatinya dari kemerdekaannya untuk beribadah kepada Allah semata. Imam Ibnu Taymiyyah menyebutkan dalam al-Ubudiyyah,

فالإنسان له إرادة دائماً، وكل إرادة فلا بد لها من مراد تنتهي إليه، فلا بد لكل عبد من مراد محبوب هو منتهى حبه وإرادته، فمن لم يكن الله معبوده ومنتهى حبه وإرادته بل استكبر عن ذلك، فلا بد أن يكون له مراد محبوب يستعبده غير الله، فيكون عبداً ذليلاً لذلك المراد المحبوب: إما المال وإما الجاه وإما الصور، وإما ما يتخذه إلهاً من دون الله.

Artinya: “Setiap manusia memiliki rasa ingin. Setiap rasa ingin pasti ada puncak dari yang diinginkan. Maka, setiap seorang hamba pasti memiliki yang menjadi puncak kecintaan dan keinginannya. Barang siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai puncak kecintaan dan keinginannya, terlebih ia merasa sombong akan hal itu, maka pasti ada sesuatu selain Allah yang ia jadikan tujuan dan yang memperbudaknya. Dengan demikian, ia menjadi hamba yang hina dari apa yang ia tuju tersebut, baik itu harta, kedudukan, rupa, atau apa pun yang ia jadikan tuhan selain Allah.”

Oleh karena itu, setiap manusia pasti menjadi hamba dari apa yang dia tuju. Barang siapa yang tujuannya bukanlah Allah, maka dia hamba dari hal tersebut dan dia bukanlah seorang yang merdeka. Seorang yang merdeka ia bisa melepaskan semua belenggu dan hanya menyembah Allah semata. Barang siapa yang tidak merdeka untuk menjadi hamba selain Allah maka dia adalah orang yang merugi. Nabi bersabda,

تَعِسَ عبدُ الدينار، وعبدُ الدرهم، وعبدُ الخميصة، إن أُعطي رضي، وإن لم يُعطَ سخط

Artinya: “Merugilah hamba dinar, merugilah hamba dirham, merugilah hamba pakaian (mewah). Jika ia diberikan (hal tersebut), ia akan senang. Jika ia tidak diberikan, ia akan marah.” (HR. Bukhari no. 2887)

Jadilah kita orang yang benar-benar merdeka secara fisik dan hati, dengan melepaskan semua belenggu penjajah yang dapat merusak kemerdekaan kita dari menyembah Allah. Dengan demikian, kita tidak akan diperdaya oleh dunia yang menipu dan menghalangi kita menggapai surga Allah.

Sumber:

  1. Al-Qur`a nal-Kariim
  2. Tafsir as-Sa`di, oleh Imam as-Sa`di
  3. Tafsir al-Baghawi, oleh Imam al-Baghawi
  4. Risalah al-Ubudiyyah, oleh Imam Ibn Taymiyyah
  5. Madariju as-Salikiin, oleh Ibnu Qoyyim

 

Ditulis oleh:

Muhammad Insan Fathin, B.Sh.

Alumni Program Studi Syariah LIPIA Jakarta.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *