Kembali kepada Tauhid, Kembali kepada Fitrah

Tauhid adalah inti ajaran Islam dan fondasi utama dalam keimanan seorang Muslim. Tauhid merupakan bentuk pengakuan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tanpa sekutu bagi-Nya. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات: ٥٦)
Artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat ini menunjukkan manusia diciptakan di dunia hanya untuk menyembah Allah semata, bukan selainnya. Tauhid juga merupakan fitrah yang setiap manusia dilahirkan dengannya. Secara bahasa, fitrah diambil dari Bahasa Arab (فطر) fa-tho-ro yang berarti memulai dari awal, asal muasal, atau awal permulaan. Hal ini bermakna bahwa kondisi manusia yang suci pada awal penciptaan adalah kondisi mengakui bahwa Allah adalah tuhan mereka. Allah ﷻ berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم:٣٠)
Artinya: “Dan tegakkanlah dengan lurus wajahmu untuk agama (Islam); (itulah) fitrah Allah yang menciptakan manusia dengannya. Tiada yang dapat menggantikan ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus tetapi banyak manusia tidak mengetahuinya” (QS. ar-Rum: 30)

Dalam Tafsir at-Thabari diriwayatkan Ikrimah (murid Ibnu Abbas yang mendapat gelar Turjuman Al-Qur`an (penerjemah Al-Qur`an)) menjelaskan makna dari “Fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia dengannya” adalah agama Islam. Maka, kondisi awal setiap manusia adalah dalam fitrah (Islam), namun perubahan-perubahan yang terjadi kepadanya mengubahnya tidak lagi pada kondisi fitrah. Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ (رواه البخاري)
Artinya: “Setiap anak manusia dilahirkan di atas kondisi fitrah (kemurnian penciptaan), ayah dan ibunyalah yang berperan menjadikannya nashrani, yahudi, atau majusi. Sebagaimana seekor hewan ternak yang melahirkan anak yang sehat, apakah kamu melihat kupingnya terpotong?” (HR. Bukhori, No. 1292)

Pada hadits ini, Rosulullah memberikan perumpamaan kondisi seorang yang baru lahir di atas fitrah ibarat hewan ternak yang lahir kondisi sehat, tanpa cacat. Maka, kerusakan tauhid seseorang yang lahir dalam fitrah ibarat kecacatan yang dialami oleh hewan ternak yang lahir dengan sehat. Kerusakan tauhid ini banyak penyebabnya, baik eksternal maupun internal. Penyebab kerusakan tauhid dari eksternal diantaranya: lingkungan, teman, guru, bahkan orang tua sebagaimana yang disebutkan pada hadits sebelumnya. Adapun kerusakan tauhid dari internal disebabkan hawa nafsu manusia itu sendiri. Allah berfirman,

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ (يوسف: ٥٣)
Artinya: “Sesungguhnya hawa nafsu itu (sering kali) memerintahkan kepada keburukan” (QS. Yusuf:53)

dan Allah berfirman,

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍۢ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَـٰوَةًۭ (الجاثية: ٢٣)
Artinya: “Apakah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya tersesat dari ilmu (yang hak), mengunci pendengaran dan hatinya, serta menutup pengelihatannya?!” (QS. al-Jatsiah:23)

Ibnu Abbas menjelaskan, “Makna dari yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya adalah Orang-orang kafir yang menjadikan hawa nafsu sebagai landasan agama mereka, bukan petunjuk Allah.”

Namun dengan kasih sayang Allah, Allah tidak membiarkan hambanya terombang-ambing dengan fitnah yang dapat merusak tauhidnya, Allah turunkan kepada manusia para nabi untuk mengingatkan mereka kembali kepada fitrah tauhid. Allah berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ ٱلضَّلَـٰلَةُ فَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ (النحل: ٣٦)
Artinya: “Dan sungguh kami telah mengutus seorang rosul kepada masing-masing umat untuk (mengingatkan mereka agar) beribadah kepada Allah semata dan menjauhi sesembahan selain Allah. Maka, di antara mereka ada yang Allah berikan petunjuk dan ada yang telah nyata kesesatan bagi mereka. Dan berjalanlah di muka bumi serta lihatlah apa yang terjadi kepada orang-orang yang mendustai (rasul-rasul mereka)”. (Q.S an-Nahl:36)

Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul sebagai pengingat bagi mereka agar mereka dapat memperbaiki kerusakan-kerusakan tauhid mereka. Bagi mereka yang menolak peringatan tersebut maka Allah akan tutup hidayah mereka. Namun, bagi mereka yang menerima peringatan tersebut, maka Allah berikan dan tambahkan hidayah mereka. Allah berfirman,

وَٱلَّذِينَ ٱهْتَدَوْا۟ زَادَهُمْ هُدًۭى وَءَاتَىٰهُمْ تَقْوَىٰهُمْ (محمد: ١٧)

Artinya: “Dan barang siapa yang mau menerima petunjuk (agama), maka Allah tambahkan mereka hidayah dan Allah berikan balasan berupa ketaqwaan”. (QS. Muhammad: 17)

Maka, untuk memperkuat hidayah yang telah diberikan, Allah memberikan sarana berupa ilmu agama melalui para nabi sebagai cahaya yang menuntun manusia kembali kepada fitrahnya. Nabi ﷺ bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa yang menempuh perjalanan mencari ilmu maka Allah akan mudahkan perjalanannya menuju surga” (HR. Muslim, No. 2699)

Dengan ilmu yang bermanfaat seseorang akan bisa lebih mendekatkan diri kepada fitrahnya. Allah berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ (فاطر: ٢٨)
Artinya: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah para ulama (ahli ilmu)” (QS. Fathir:28)

Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini, “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah mampu melakukan segalanya (mentauhidkan Allah)”

Oleh karena itu, tidak ada jalan keselamatan dan kebahagiaan sejati kecuali dengan kembali kepada tauhid sebagai inti dari fitrah manusia. Allah berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ (فصلت: ٣٠)

Artinya: “Sesungguhnya mereka yang berkata Tuhan kami adalah Allah kemudian ia beristiqomah dengannya, para malaikat akan turun kepadanya (dan berkata) ‘Janganlah kamu takut dan bersedih; dan bergembiralah atas surga yang engkau dengannya dijanjikan” (QS. Fussilat: 30)

Di dalam Tafsir Ibn katsir diceritakan bahwa Sa-id bin Nimran pernah membacakan ayat ini di sebelah Abu Bakar, kemudian Abu Bakar berkata ,mengomentari ayat ini “Mereka adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah dan tidak melakukan kesyirikan”.

Dari ayat tersebut melalui penjelasan Abu Bakar, orang-orang yang mentauhidkan Allah adalah orang-orang yang akan senantiasa berbahagia, baik di dunia dan juga di akhirat. Di dunia, Allah turunkan kepada mereka para malaikat yang membawa ketenangan. Dan di akhirat, Allah berikan mereka surga yang selama di dunia mereka dijanjikan. Maka, kembalilah kepada tauhid yang mana dengannya manusia difitrahkan.

Referensi:
1. Al-Qur’an
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Tafsir At-Thabari
4. Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
5. Dhiya’ al-‘Ilmi, Syaikh Muhammad al-Ustaimin

 

Artikel ini ditulis oleh:

Muhammad Insan Fathin, B.Sh.

Alumni Program Studi Syariah LIPIA Jakarta.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *