Bagaimana Ahlussunnah Menyikapi Tahun Baru Islam
Islam mengakui bahwa bulan ada 12, dan selalu berganti setiap tahunnya. Allah berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
Artinya: “Sesungguhnya perhitungan bulan di sisi Allah ada 12 bulan (yang tercantum) dalam ketetapan Allah pada hari Allah menciptakan langit dan bumi.” (QS. At-Taubah: 36)
Waktu terus bergerak, setiap dua belas bulan sekali tahun berganti. Tradisi merayakan momen pergantian tahun telah menjadi fenomena umum di tengah masyarakat, baik dalam bentuk perayaan tahun baru Masehi dan tahun-tahun lain yang berasal dari tradisi kafir, maupun tahun baru Hijriyah yang sering turut diperingati oleh sebagian umat Islam. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting dari sudut pandang hukum Islam, apakah perayaan terhadap pergantian tahun ini, baik secara umum maupun khusus, memiliki dasar pembenaran dalam syariat Islam?
Maka, jika kita kembalikan kepada asalnya, Islam tidak membenarkan adanya hari raya selain idulfitri dan iduladha. Rasulullah ﷺ bersabda,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: “مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟” قَالُوا: “كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ”، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ”.
Artinya: Kala Rasulullah ﷺ mendatangi Madinah, ia ﷺ mendapati penduduk Madinah memiliki 2 hari yang mereka bersenang-senang padanya. Kemudian beliau berkata “Untuk apa 2 hari ini?” mereka menjawab, “Kami bersenang-senang pada 2 hari ini ketika zaman jahiliyah” maka Rasulullah ﷺ menegaskan, “Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian 2 hari yang lebih baik dari keduanya (yaitu), idulfitri dan iduladha.” (HR. An-Nasa`i no 1556, Abu Daud no 1134, dan dihasankan oleh al-Albani)
Tidaklah dibenarkan untuk ahlussunnah melakukan perayaan di tahun baru, karena hal ini menyerupai kebiasaan dan kekhususan orang-orang kafir yang berbahagia dan merayakan pergantian-pergantian tahun mereka dari agama masing-masing. Mengikuti kebiasaan dan kekhususan sebuah kaum menjadikan pelakunya termasuk dari golongan yang diikuti. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : “Barang siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka ia termasuk dari golongannya” (HR. Abu Daud no. 4031)
Hal ini sengaja dijadikan tren oleh orang-orang kafir agar muslim mengikuti mereka, Allah berfirman,
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلْيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Artinya: “Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rido kepada kalian sampai kalian mengikuti agama (kebiasaan) mereka” (QS. al-Baqarah: 120)
Seorang muslim yang mengaku ahlussunnah juga tidak perlu membuat tandingan kepada orang kafir yang merayakan tahun baru mereka dengan merayakan tahun baru Islam, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَإِنَّ هَذَا عِيدُنَا
Artinya: “Setiap kaum mempunyai hari raya dan sesungguhnya ini (idulfitri dan iduladha) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari no. 952)
Dengan tegas Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa hari raya yang kita punya hanyalah idulfitri dan iduladha, tidak perlu ditambah-tambahi karena menambah perkara ibadah dalam Islam adalah perbuatan tercela, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَن أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ، فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam urusan (peribadatan) kita maka dia tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Menambah urusan agama juga merupakan perbuatan khianat kepada Firman Allah,
ٱلۡيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسْلَٰمَ دِينًا
Artinya: “Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan Aku sempurnakan juga nikmat-Ku serta Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Maidah: 03)
Kemudian Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ibnu Abbas berkata ketika menerjemahkan penggalan ayat di atas, “Maksudnya adalah Islam, yang Allah kabarkan kepada Nabinya dan seluruh umat Islam bahwa Islam telah sempurna tidak butuh ada penambahan apa pun, karena Allah tidak mungkin menguranginya dan luput dari sebuah permasalahan”
Maka, mereka yang menambah-nambahkan dalam agama ini sesungguhnya telah melakukan penghinaan terhadap kesempurnaan agama yang telah Allah tetapkan, walau dengan anggapan hal tersebut adalah kebaikan. Perbuatan tersebut sejatinya merupakan bentuk penafian terhadap kesempurnaan agama Islam yang Allah kabarkan dalam Al-Qur’an.
Asy-Syathibi menyebutkan dalam al-I`thisham bahwa Imam Malik berkata, “Barang siapa yang berbuat sebuah kebid`ahan dan melihatnya sebagai kebaikan, maka ia telah mengkhianati kerasulan (Yang Allah pilih Nabi Muhammad ﷺ)”
Tidak ada satupun dalil shahih yang menunjukkan aktivitas Rasulullah ﷺ, sahabatnya, dan para salaf dalam merayakan pergantian tahun baru Islam. Dr Rabi` Ahmad menyebutkan dalam makalahnya “Hal Yahtafil Muslim bira`sis Sanah Hijriyyah?” bahwa tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan Rasulullah ﷺ begitu pula sahabatnya ketika masuk ke dalam tahun baru melakukan aktivitas ibadah maupun perayaan apa pun. Nabi bersabda,
عليكم بسُنتي وسنة الخلفاء الراشدين المَهديين من بعدي، وإيَّاكم ومُحدثات الأمور؛ فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
Artinya: “Wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ar-rasyidin setelah (kepergian)-ku” (Shahih Targhib wa Tarhib no. 37)
Dengan tidak adanya riwayat yang mengkhususkan sebuah amalan yang dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya ibadah khusus yang ada pada pergantian tahun baru Hijriyah. Kalaulah itu sebuah kebaikan dan kebenaran, maka mereka pasti sudah mencontohkannya.
Selain tidak memiliki perayaan khusus, awal tahun juga bukanlah momen yang harus dihormati secara khusus, terlebih lagi jika waktu tersebut dianggap dapat membawa kesialan, yang mana hal ini sangat tercela. Rasulullah ﷺ bersabda,
قال الله تعالى: يؤذيني ابن آدم، يسب الدهر
Artinya: “Allah berkata, ‘Manusia telah menghinaku, karena ia menghina waktu’”. (HR. Bukhari no.7491 dan Muslim no. 2246)
Dibanding memikirkan amalan yang harus dilakukan ketika masuk tahun baru yang tidak ada contohnya, lebih baik seorang muslim mempersiapkan diri untuk tetap beramal dan tidak bermaksiat pada Muharram yang menjadi bulan pembuka Hijriyyah, karena ia masih berada di bulan haram yang pahala digandakan dan juga dosa, Allah berfirman,
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ
Artinya: “Di antaranya ada 4 bulan haram, itu adalah ketetapan yang lurus, janganlah kalian zalimi diri-diri kalian.” (QS. At-Taubah: 36)
Rasulullah ﷺ bersabda menjelaskan 4 bulan haram ini,
ثلاثة متواليات: ذو القعدة, وذو الحجة, والمحرم, ورجب
Artinya: “Tiga berurutan (dan satu terpisah), yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram (yang berurutan), dan Rajab (yang terpisah).
Dalam Tafsir at-Thabari dijelaskan Hasan berkata tentang penggalan ‘janganlah kalian zalimi diri-diri kalian’, “maksudnya adalah janganlah kalian berbuat perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan.”
Mengada-ngada merupakan perbuatan terlarang yang tidak boleh ada pada awal tahun atau Muharram, selain terlarang dosa dapat digandakan.
Reff:
- Al-Qur`an al-Karim
- Tafsir Ibn Katsir, Ibn Katsir
- Fath al-Ali al-Hamid, Midhat bin Hasan Alu Faraj
- Al-I`thisham, asy-Syathibi
- Hal Yahtafil Muslim bira`sis Sanah Hijriyyah, Rabi` Ahmad
- Kitab ar-Raddu `alal-Lam`i, Syahatah Muhammad Shaqr
Ditulis oleh:
Muhammad Insan Fathin, B.Sh.
Alumni Program Studi Syariah LIPIA Jakarta