Salah satu perkataan al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah yang kerap didengar adalah
العمل لأجل الناس شرك، وترك العمل لأجل الناس رياء
“Beramal karena manusia adalah kesyirikan dan meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”
Ungkapan ini begitu populer dan sering disampaikan dalam nasihat, kajian, dan ceramah. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana memahami kalimat kedua dari ungkapan beliau tersebut?
Apakah meninggalkan amal karena khawatir tertimpa fitnah dan riya justru merupakan riya itu sendiri? Bukankah kebiasaan salaf adalah merahasiakan amal-amal mereka? Bukankah mereka mewanti-wanti agar tidak menampakkan amal karena khawatir seseorang terjerumus ke dalam riya? Apakah arti dan kriteria riya yang dimaksud dalam ungkapan tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang timbul ketika mendengar ungkapan populer di atas. Dan insya Allah akan dijelaskan dalam beberapa poin berikut:
- Pertama-tama kami menekankan bahwa setiap perkataan manusia dapat diterima dan ditolak kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat ‘ishmah hanya melekat pada wahyu yang berupa firman Allah ta’ala dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun perkataan selain wahyu, siapa pun yang mengucapkannya, maka terkadang benar dan salah. Apabila perkataan tersebut memiliki kandungan yang benar, maka perkataan itu dapat diterima. Namun, jika tidak, maka perkataan tersebut bisa ditolak, betapa pun terhormat orang yang mengucapkan.
- Beramal karena manusia sebagaimana yang terdapat dalam kalimat pertama dari ungkapan al-Fudhail di atas, memang benar merupakan kesyirikan, baik perbuatan itu dilatarbelakangi oleh riya ataupun hal lain. Karena timbulnya niat karena selain Allah ketika melakukan amal shalih adalah salah satu bentuk kesyirikan.
Tindakan tersebut bisa bernilai syirik akbar atau syirik ashghar tergantung pada niat yang terdapat dalam hati pelakunya. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berikut perbuatan syiriknya.” [HR. Muslim]
- Amal shalih yang hukumnya wajib harus dilaksanakan dan haram ditinggalkan, meski ada kekhawatiran dalam diri jika dilakukan akan menimbulkan riya. Dalam kondisi ini, seseorang berkewajiban melaksanakan kewajiban tersebut dan bermujahadah agar bisa melaksanakannya dengan ikhlas.
- Menyembunyikan amal shalih yang bersifat sunnah/mustahab tentu lebih utama karena lebih bisa menjaga keikhlasan dan menjauhkan pelakunya dari riya. Dalam sebuah hadits disebutkan salah satu golongan dari ketujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari kiamat adalah
رَجُلٌ ذَكَرَ اللَّه خالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“…seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dan demikianlah praktik generasi salaf.
- Jika terdapat maslahat agama, maka boleh menampakkan amal shalih. Hal ini seperti seorang yang menjadi tokoh dan teladan, maka dia boleh menampakkan amal shalih agar ditiru oleh yang lain dengan syarat dirinya terjaga dari riya dan fitnah.
Hal ini didukung oleh hadits,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” [HR. Muslim]
- Adapun perkataan al-Fudhail rahimahullah “dan meninggalkan amal karena manusia adalah riya” tidaklah berlaku mutlak. Oleh karena itu, sejumlah alim ulama memberikan penjelasan berikut terhadap perkataan tersebut:
- Sebagian alim ulama menerangkan bahwa maksud perkataan al-Fudhail tersebut adalah apabila seseorang meninggalkan ibadah agar tidak dilihat manusia dalam rangka menjauhi pujian mereka, maka itulah riya!
- Sebagian alim ulama yang lain menjelaskan bahwa maksud perkataan al-Fudhail itu adalah meninggalkan kemaksiatan agar dipuji manusia.
- Namun, penjelasan terbaik untuk perkataan al-Fudhail rahimahullah tersebut, adalah penjelasan sebagian ulama yang menerangkan bahwa orang yang meninggalkan amal shalih agar disifati sebagai orang yang ikhlas dan tidak riya, maka perbuatan yang demikian itulah yang merupakan riya. Alasannya, meninggalkan amal shalih karena manusia agar dipuji dan disanjung mereka, itu serupa dengan beramal karena manusia.
Al-Lajnah ad-Daimah pernah memberikan penjelasan perihat perkataan al-Fudhail tersebut. Dalam fatwa tersebut, al-Lajnah ad-Daimah menyatakan,
قوله : ” إن ترك العمل من أجل الناس رياء ” ليس على إطلاقه ، بل فيه تفصيل ، والمعول في ذلك على النية ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى )…
فإذا وقع للإنسان حالة ترك فيها العمل الذي لا يجب عليه ؛ لئلا يظن به ما يضره فليس هذا من الرياء ، بل هو من السياسة الشرعية ، وهكذا لو ترك بعض النوافل عند بعض الناس خشية أن يمدحوه بما يضره أو يخشى الفتنة به ، أما الواجب فليس له أن يتركه إلا لعذر شرعي
“Perkataan al-Fudhail ‘sesungguhnya meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ tidak berlaku mutlak, tapi membutuhkan perincian karena hal itu bergantung pada niat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya setiap orang tidak lain akan memperoleh balasan dari apa yang diniatkan’…
Apabila seseorang mengalami suatu kondisi yang menuntutnya untuk meninggalkan suatu amal shalih yang hukumnya tidak wajib (sunnah) agar tidak muncul anggapan yang dapat membahayakan dirinya, maka perbuatan ini bukanlah riya tapi tercakup dalam siyasah syar’iyah. Demikian pula hal yang sama berlaku jika seorang tidak melakukan amal-amal sunnah di tengah-tengah khalayak karena khawatir pujian mereka atau akan timbul fitnah. Adapun amal yang hukumnya wajib tidak boleh ditinggalkan dan harus dilakukan meski di tengah-tengah manusia kecuali terdapat udzur syar’i.” [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 1/768-769]
- Terakhir, bagaimanakah jika seorang yang telah terbiasa melakukan suatu amal sunnah seperti shalat Dhuha, qiyamul lail, atau tilawah al-Quran, dll, kemudian ketika melakukan amalan tersebut, muncul orang lain. Apakah dalam kondisi demikian, jika khawatir tertimpa riya, dia tetap meneruskan atau menghentikan amal shalihnya?
Sebagian alim ulama menjawab, dalam kondisi tersebut, dia jangan menghentikan amal shalih dan tetap melakukannya serta berupaya keras agar menjauhkan hati dari riya dan hal-hal yang bisa merusak keikhlasannya. Alasannya, jika dia menghentikan amal shalih, maka boleh jadi dia justru terjerumus dalam perkara yang diperingatkan al-Fudhail, yaitu dia meninggalkan amal agar dipuji bahwa dirinya ikhlas.
Wallahu ta’ala a’lam.
e-Buletin Belajar Tauhid
Penyusun : Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com
Tolong kasih contonya dlm bntuk amal ibadah…