Istilah “agama samawi” sering digunakan untuk mengacu pada agama Islam, dan dua agama, yaitu Yahudi dan Nashrani, dengan pertimbangan bahwa ketiganya merupakan agama yang diturunkan dari sisi Allah ta’ala. Apakah istilah ini tepat?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas terangkum dalam penjelasan berikut:
1. Penggunaan istilah “agama” tanpa dikaitkan dengan istilah “samawi” untuk seperti Yahudi, Nashrani, atau agama-agama selain keduanya yang ada di permukaan bumi berdasarkan pertimbangan arti bahasa, adalah hal yang diperbolehkan. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam riwayat Ibnu ‘Abbas radiallahu ‘anhuma, beliau berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ قَالَ :
الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau bersabda, ‘yaitu agama al-Hanifiyyah as-Samhah (agama yang hanif (bebas dari syirik) dan samhah (toleran)” (HR. Ahmad. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)
Demikian pula, Allah ta’ala berfirman,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (al-Kafirun: 6)
Karena itu, penggunaan istilah agama tanpa dikaitkan dengan samawi, adalah hal yang diakui syari’at. Akan tetapi, hanya Islam agama yang benar.
2. Inti agama yang diturunkan kepada seluruh nabi dan rasul adalah agama yang satu, yaitu Islam dengan pengertiannya yang umum. Secara umum, Islam diartikan peribadahan/penyembahan kepada Allah ta’ala tanpa menyekutukan-Nya. Agama Islam inilah yang diterima di sisi Allah, bukan agama yang lain.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (Ali Imran: 19)
Allah ta’ala juga berfirman perihal kesamaan dakwah yang diusung para nabi,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Rabb (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al-Anbiya: 25)
Allah ta’ala berfirman perihal nabi Nuh ‘alaihi as-salam,
وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“…dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berislam kepada-Nya” (Yunus: 72)
Allah ta’ala berfirman perihal nabi Ibrahim ‘alaihi as-salam,
قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Aku berislam (tunduk dan patuh) kepada Rabb semesta alam” (al-Baqarah: 131)
Allah ta’ala juga berfirman perihal beliau,
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif (lurus) lagi muslim (berserah diri/tunduk kepada aturan Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (Ali Imran: 67)
Allah ta’ala berfirman perihal nabi-nabi dari kalangan Bani Israil,
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berislam kepada Allah” (al-Maidah: 44)
Demikianlah apa yang diinformasikan Allah ta’ala perihal para nabi seperti Luth, Yusuf, Musa, Sulaiman, Ya’qub, dan keturunan mereka ‘alaihim as-salam. Kesimpulannya, agama para nabi adalah sama, yaitu Islam.
3. Perbedaan yang ada pada dakwah para nabi hanya terjadi pada aturan-aturan hukum agama seperti firman Allah ta’ala,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang’ (al-Maidah: 48)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Inti agama yang diusung para rasul adalah satu, yaitu Islam seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal yang membedakan adalah aturan-aturan hukum, yang ditetapkan di zaman mereka. Dan adanya perbedaan aturan tidak lantas menjadikan agama mereka berbeda. Hal ini seperti yang terdapat dalam misalnya syari’at Islam yang secara khusus dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana at-tanaasukh (penganuliran/penghapusan aturan hukum) terjadi di dalamnya. Sehingga, dengan begitu terjadinya at-tanaasukh terhadap aturan-aturan hukum yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu tidak berarti bahwa agama mereka berbeda.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
فالمرسلون صلوات الله عليهم أجمعين، أولهم وآخرهم بعثوا بدين الإسلام،
وهو عبادة الله وحده لا شريك له…وتنوع شرائع الأنبياء كتنوع الشريعة
الواحدة
“Para rasul shalawatullah ‘alaihim ajma’in, baik yang awal maupun yang akhir, diutus dengan agama Islam, yaitu agama yang menyeru manusia untuk menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya…dan keragaman aturan-aturan hukum yang ada pada zaman nabi-nabi layaknya keragaman hukum yang terjadi pada suatu agama” (ar-Radd ‘alaa al-Manthiqiyyin hlm. 46)
4. Berdasarkan penjelasan pada poin-poin di atas, lafadz “agama” yang dikaitkan dengan lafadz “samawi”, sehingga istilah “agama-agama samawi” mengacu pada agama Yahudi dan Nashrani, maka penggunaan istilah tersebut adalah penggunaan yang keliru. Hal ini dijelaskan dalam poin-poin di bawah ini:
a. Dari redaksi jamak yang digunakan mengesankan berbilangnya agama yang diturunkan dari sisi Allah ta’ala. Hal itu adalah kebatilan, karena agama yang berasal dari sisi Allah hanya satu, yaitu Islam dengan artinya yang khusus seperti telah dijelaskan di atas.
Jika ada yang beralasan bahwa istilah “agama-agama samawi” digunakan dengan mempertimbangkan asalnya yang sama dan aturan-aturan hukum yang berbeda pada agama-agama tersebut, sebagaimana yang diungkapkan sejumlah cendekiawan. Maka, alasan itu tetap menimbulkan permasalahan, karena hanya satu agama yang diturunkan dari sisi Allah, namun dengan aturan-aturan hukum agama yang berbeda. Oleh karena itu, mungkin penggunaan yang bisa diterima adalah “aturan-aturan hukum (syir’ah) samawi” dan bukan “agama-agama samawi”.
b. Penyifatan agama-agama tersebut dengan kata “samawi” tidak akurat, karena menimbulkan persepsi akan keabsahan agama-agama itu dan bahwa mereka memang diturunkan dari langit. Tentu hal itu adalah kebatilan, karena agama-agama tersebut telah terdistorsi seperti yang diketahui bersama. Dengan demikian, hakikatnya agama itu adalah distorsi terhadap agama Islam yang diturunkan dari langit. Kesimpulannya, tidak ada agama samawi selain Islam, yang inti ajarannya adalah berserah diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan peribadahan hanya kepada-Nya; serta berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan.
Wallahu ta’ala a’lam.
Penyusun : Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com