Tujuan Penciptaan Manusia dan Jin

Siapa pun kita, kaya miskin, tua muda, orang terpandang rakyat jelata, semua kita adalah manusia ciptaan sekaligus hamba Allah Ta’ala. Bahkan lebih luas lagi seluruh apa yang ada di langit dan di bumi merupakan hamba Allah Subhana wa Ta’ala yang mau tidak mau harus tunduk kepadaNya. Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba”. (QS. Maryam [19] : 93)

Sebagai suatu ciptaan yang luar biasa, tentu adanya manusia tidak luput dari tujuan penciptaannya yang telah ditetapkan oleh Sang Penciptanya. Sebagai gambaran, seorang engineer yang mampu menciptakan sebuah mesin canggih, sudah barang tentu, sang engineer-lah yang paling tahu kegunaan dan tujuan pembuatan mesin tersebut.

Demikian lebih lagi halnya dengan manusia, tentulah Sang Pencipta, yaitu Allah Ta’ala lah yang paling tahu tujuan penciptaan kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku (Allah) ciptakan seluruh jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (mentauhidkanku)”. (QS. Adz Dzariyat [51] : 56)

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan Firman Allah Ta’ala (إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) ‘kecuali untuk beribadah kepada-Ku’ “maksudnya kecuali untuk senantiasa beribadah kepada-Ku (Allah) baik dalam keadaan lapang maupun susah”. Inilah pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari Rahimahullah.

Sedangkan Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya Aku hanya menciptakan mereka (manusia dan jin) hanya untuk beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku (Allah) membutuhkan (ibadah –pen) mereka[1].

Syaikh DR. Sholih Al Fauzan Hafizhahullah menjelaskan makna ayat ini secara umum, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa seluruh jin dan manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepada-Nya (mentauhidkan-Nya –pen). Maka ini merupakan penjelasan dari tujuan penciptaan mereka. Allah tidak menginginkan dari mereka sebagaimana keinginan seorang tuan dari para budaknya, berupa pertolongan dalam mencari rizki dan makanan. Bahkan yang Allah inginkan dari penciptaan ini (beribadah kepada-Nya) hanyalah untuk kemaslahatan mereka sendiri[2].

Lantas apa itu ibadah ?

Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan, “Pokok, dasar ibadah adalah perendahan diri dan penghinaan diri. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan dalam syariat disebut sebagai ibadah kerena mereka (para hamba Allah) senantiasa melaksanakan dan mengerjakannya sebagai bentuk ketundukan dan penghinaan diri kepada Allah Ta’ala”.

Ahmad bin Abdul Halim Rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah keta’atan kepada Allah dengan melaksanakan apa yang Allah perintahkan melalui lisan para rosul”. Pada kesempatan lain Beliau mengatakan, “Ibadah adalah sebuah kata yang maknanya luas mencakup setiap hal yang Allah cintai dan ridhoi baik berupa ucapan, amal perbuatan yang zhahir maupun bathin[3].

Ringkasnya ibadah adalah semua yang Allah perintahkan, cintai dan ridhoi baik yang berhubungan lisan, perbuatan anggota badan baik yang nampak maupun yang terkait dengan hati (bathin) berupa keyakinan, rasa harap, takut dan seterusnya.

Inilah tujuan dari penciptaan seluruh manusia dan jin. Setelah kita mengetahui tujuan kita diciptakan hanyalah untuk mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya maka diantara aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari adalah ibadah kita dan bentuk keta’atan lainnya hanya kita persembahkan semata-mata kepada Allah bukan kepada selain-Nya, siapapun dia.

Bentuk aplikasi nyata lainnya adalah ketika kita dihadapkan antara kepentingan dunia dan ibadah wajib maka sudah seharusnya kita mendahulukan ibadah sebab itulah tujuan penciptaan kita. Bahkan semua kenikmatan, fasilitas yang Allah berikan kepada kita di dunia ini, sejatinya adalah untuk membantu kita merealisasikan tujuan penciptaan kita yaitu beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya.

Lebih jauh lagi, bila kegiatan keseharian kita semisal tidur dan sebagainya kita niatkan untuk membantu kita dalam melaksanakan tujuan penciptaan ini maka itu pun dapat bernilai ibadah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana pula bila nikmat yang Allah berikan, kita gunakan dalam rangka merealisasikan peribadatan kepada-Nya maka itu pun bernilai ibadah di sisi-Nya.

Perlu kita pahami juga bahwa ketauhidan kita kepada Allah dan ibadah kita kepada-Nya manfaatnya akan kembali kepada kita, bukan karena Allah Ta’ala butuh terhadap kita dan ibadah kita. Sehingga setiap ibadah kita sejatinya maslahatnya akan berpulang kepada kita. Demikian pula sebaliknya, setiap pelanggaran kita atas tujuan penciptaan kita pun sejatinya akan terpulang kepada kita dan kelak akan melihat balasannya di akhirat.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman dalam Hadits Qudsi,

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai para hamba-Ku, seandainya manusia yang paling awal hingga yang paling akhir, demikian pula dari kalangan bangsa jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan hati yang paling tinggi maka itu sedikit pun tidak akan menambah kekuasaanku. Wahai para hamba-Ku, seandainya manusia yang paling awal hingga yang paling akhir, demikian pula dari kalangan bangsa jin, semuanya berada pada tingkat kedurhakaan hati yang paling buruk maka itu pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun[4].

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (123) وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (124

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan keburukan, niscaya akan diberi pembalasan dengan keburukan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS. An Nisa [4] : 123-124)

Allahu a’lam.

Referensi

  1. Tafsir Ibnu Katsir hal. 425/VII terbitan Dar Thayyibah, Riyadh, KSA.
  2. Mulakhos fi Syarh Kitab Tauhid hal. 9 terbitan Dar ‘Ashimah, Riyadh, KSA.
  3. Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid hal. 17 terbitan Dar Shomi’i, Riyadh, KSA
  4. HR. Muslim no. 2577.

Sigambal selepas subuh, 17 Dzulhijjah 1439/ 29 Agustus 2018

Penyusun : Aditya Budiman bin Usman
Artikel : IndonesiaBertauhid.Com

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *